Minggu, 21 Juni 2015

Pragmatisme dalam Pemekaran Daerah

Oleh: Rasyid Widada

Sejak reformasi bergulir hingga terakhir dilakukannya pemekaran daerah baru pada Oktober 2014, pemerintah telah melakukan 223 pemekaran daerah. Dengan demikian secara keseluruhan sudah terdapat 542 daerah otonom, terdiri dari: 34 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota. Namun, dalam perkembangannya banyak sekali daerah hasil pemekaran yang dinilai berkinerja buruk. Evaluasi yang dilakukan Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (2011) terhadap 205 daerah hasil pemekaran yang terbentuk antara tahun 1999-2009 (terdiri atas 164 kabupaten, 34 kota, dan 7 provinsi) menyimpulkan bahwa masih sekitar 70 persen daerah pemekaran dinilai belum berhasil. Hasil evaluasi tersebut senada dengan evaluasi yang dilakukan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bekerjasama dengan United Nations Development Programme (UNDP) pada 2008 yang menemukan bahwa secara umum daerah otonom baru masih tertinggal.



Simpulan dan temuan dari kajian di atas ternyata relatif “diamini” oleh kajian-kajian sejenis yang meneliti perkembangan pemekaran daerah di Indonesia. Namun, anehnya, temuan-temuan tersebut sepertinya tidak menyurutkan aspirasi masyarakat untuk mengajukan usulan pemekaran daerah. Dari catatan yang ada di Kementerian Dalam Negeri pada tahun 2012 sudah terdapat usulan pemekaran 33 provinsi baru, 133 kabupaten baru, serta 17 kota baru—dan masih akan terus bertambah—yang belum ditindaklajuti oleh pemerintah meskipun sudah diajukan kepada DPR..
Faktor yang sering diduga sebagai penyebab utama masih tingginya aspirasi usulan pemekaran daerah di tengah banyaknya penilaian negatif terhadap keberhasilan program ini adalah dasar yang menjadi alasan pemekaran. Alasan pemekaran daerah tidak pernah tunggal, bahkan seringkali tumpang tindih antara alasan yang bersifat sosial, politik, maupun ekonomi. Alasan pertama yang sering disampaikan dalam usul pemekaran daerah adalah kondisi georgrafis yang terlalu luas yang berdampak pada kualitas layanan publik. Dalam kajian Bappenas dan UNDP (2008) disebutkan bahwa salah satu argumen yang mendukung pemekaran, yaitu antara lain karena adanya kebutuhan untuk mengatasi jauhnya jarak rentang kendali antara pemerintah dan masyarakat. Masyarakat di daerah yang jauh dari pusat pemerintahan (ibukota) cenderung lebih susah mendapatkan layanan dan perhatian dari pemerintahan. Misalkan saja untuk pengurusan SIM/STNK, BPJS, pajak, penyelesaian sidang pengadilan, dan lain-lain sebagainya, masyarakat yang jauh dari pusat pemerintahan harus mengeluarkan biaya dan waktu lebih banyak.
Alasan kedua yang turut melatarbelakangi keinginan untuk pemekaran daerah adalah adanya sentimen identitas sosio-kultural atau etnis. Ketika sebuah kelompok merasa memiliki ciri-ciri sosial yang sama seperti etnisitas, agama, kesejarahan dan tingkat kohesivitas yang tinggi maka mereka cenderung untuk menuntut pembentukan pemerintahan daerah sendiri.  Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah LAN (2005) menemukan, misalnya: masyarakat Bangka Belitung merasa berbeda dengan masyarakat Sumatera Selatan, kemudian masyarakat Gorontalo merasa berbeda dengan masyarakat Sulawesi Utara. Dalam bentuk lain, ada juga masyarakat yang mengajukan pemekaran merasa sebagai komunitas budaya tersendiri yang berbeda dengan komunitas budaya daerah induk. Sebagai contoh: masyarakat Banten merasa secara budaya berbeda dengan masyarakat Jawa Barat. Demikian pula dengan yang terjadi dalam banyak pemekaran kabupaten di Provinsi Papua.
Alasan ketiga yang adalah alasan pertumbuhan ekonomi. Dengan adanya daerah baru hasil pemekaran diharapkan akan merangsang terbentuknya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru (new economic growth centres) yang akan mendorong percepatan pembangunan ekonomi daerah. Pemekaran daerah diharapkan akan mendorong kreatifitas baru dan penetapan fokus dalam mengelola potensi ekonomi daerah yang ada. Hal ini akan meningkatkan peluang untuk menggali berbagai potensi ekonomi daerah yang selama ini kurang terperhatikan.
Alasan keempat yang mendorong dilakukannya pemekaran adalah adanya keinginan mengambil keuntungan (rent seeking) dari insentif fiskal yang diberikan pemerintah pusat dan daerah induk. Alasan ini memang tidak pernah pernah secara eksplisit disampaikan sebagai alasan pemekaran suatu daerah. Sebagaimana diketahui, daerah yang dimekarkan akan mendapatkan anggaran dari daerah induk selama 3 tahun dan mendapatkan dana dari pemerintah pusat (DAU dan DAK). Fitrani, Hofman dan Kai (2005) menyatakan bahwa pemekaran telah membuka peluang terjadinya bureaucratic and political rent-seeking, yakni kesempatan untuk memperoleh keuntungan dana, baik dari pemerintah pusat maupun dari penerimaan daerah sendiri.
Alasan kelima adalah alasan politik. Sama seperti alasan sebelumnya, alasan ini tidak pernah secara eksplisit disampaikan. Namun nuansa motif politik dalam pengusulan pemekaran suatu daerah begitu terasa jika melihat besarnya peran elit dan kekuatan politik dalam proses pengusulan pemekaran daerah. Sudah menjadi pengetahuan umum jika alasan dilakukannya pemekaran adalah keinginan sekelompok elit politik untuk memperoleh posisi kekuasaan baru di daerah yang dimekarkan. Hal ini karena keberadaan daerah otonomi baru hasil pemekaran daerah membuka peluang dibentuk aparat pemerintah daerah baru. Di samping itu, adanya daerah pemekaran baru juga membuka peluang partai-partai politik menambah “alokasi” penempatan elit-elitnya untuk menduduki jabatan politik. Daerah pemekaran baru juga berpeluang mengkonsentrasikan dan mengkonsolidasikan basis dukungan atau konstituen tradisional yang dimiliki sebuah kekuatan politik di suatu daerah.
Pertimbangan-pertimbangan itulah yang kemudian mengesankan proses pemekaran lebih banyak mengedepankan pragmatisme politik dan kurang mempertimbangkan studi kelayakan yang utuh dan memadai. Kesan tersebut terlihat dari melonjaknya jumlah daerah pemekaran baru menjelang pelaksanaan Pemilu (2004, 2009, dan 2014), yang tergambar dalam gambar berikut:



Sumber: diolah dari data Kementerian Dalam Negeri dan Direktorat Otonomi Daerah Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional / Bappenas 2014

Memperhatikan itu semua, sulit diingkari bahwa nuansa pragmatisme dan orientasi kepentingan jangka pendek begitu mendominasi motif sebenarnya dari pengusulan pemekaran daerah. Situasi ini pula yang menyebabkan kebijakan moratorium (penghentian sementara) pemekaran daerah yang dikeluarkan oleh Pemerintah (dalam hal ini Kemendagri) tidak pernah efektif. Selain itu, munculnya beberapa konflik horisontal pascapenetapan daerah baru hasil pemekaran, sebagaimana terjadi Kab. Polewali Mandar dan Kab. Mamasa, serta di beberapa kabupaten di Papua, semakin mempertegas kesan tersebut.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menekan pragmatisme dalam pengusulan pemekaran daerah adalah mengembalikan konteks pemekaran daerah sebagai bagian dari kebijakan penataan daerah secara umum. Upaya ini memang tidak mudah karena menyangkut perubahan kerangka berpikir (mindset) terhadap kebijakan pemekaran daerah. Selama ini pemekaran daerah sering dipahami sebagai peluang untuk membuat daerah baru, jabatan politik baru, lowongan pekerjaan baru, alokasi anggaran baru, peneguhan identitas sosial, dan sejenisnya. Sangat jarang pemekaran daerah dipahami sebagai agenda pembenahan wilayah (territorial reform) yang akan menjamin efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan.
Dalam UU Pemerintahan Daerah yang baru, yakni UU Nomor 23 Tahun 2014, penegasan soal menempatkan pemekaran daerah sebagai bagian dari penataan daerah telah dicantumkan dengan jelas. Namun ketentuan itu tidak akan bermakna jika tidak diikuti dengan perumusan desain besar (grand design) penataan pemerintahan daerah sebagaimana pernah diwacanakan beberapa waktu lalu. Rumusan desain besar tersebut sangat penting untuk memberi panduan dalam penataan daerah, sekaligus meredam pragmatisme dan hasrat berlebihan yang masih membayangi dalam proses pengusulan pemekaran daerah.


Referensi:
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), United Nations Development Programme (UNDP). 2008. Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah 2001-2007. Jakarta (ID): BRiDGE (Building and Reinventing Decentralised Governance) Bappenas.
Direktorat Jenderal Otonomi Daerah, Kementrian Dalam Negeri, Decentralization Support Facility. 2011. Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP) 2011. Jakarta (ID): Bank Dunia
Fitrani F, Hofman B, Kai K. 2005. Unity in Diversity? The Creation of New Local Government in A Decentralising Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies. 41(1): 57–79.
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah. 2005. “Laporan Evaluasi Penyelenggaran Otonomi Daerah Periode 1999-2003”, Lembaga Administrasi Negara (LAN).
Ratnawati T, Jaweng RE. 2005. Meninjau Kebijakan Pemekaran Daerah. Jentera.  10 (3): 60

Tulisan ini pernah dimuat pada Majalah EDUKRASI (majalah terbitan kerjasama IER Universitas Paramadina dengan Konrad Adenauer Stiftung) Edisi 1/2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar