Oleh: Rasyid Widada
Sejak reformasi bergulir
hingga terakhir dilakukannya pemekaran daerah baru pada Oktober 2014,
pemerintah telah melakukan 223 pemekaran daerah. Dengan demikian secara
keseluruhan sudah terdapat 542 daerah otonom, terdiri dari: 34 provinsi, 415
kabupaten, dan 93 kota. Namun, dalam perkembangannya banyak sekali daerah hasil
pemekaran yang dinilai berkinerja buruk. Evaluasi yang dilakukan Direktorat
Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (2011) terhadap 205 daerah
hasil pemekaran yang terbentuk antara tahun 1999-2009 (terdiri atas 164
kabupaten, 34 kota, dan 7 provinsi) menyimpulkan bahwa masih sekitar 70 persen
daerah pemekaran dinilai belum berhasil. Hasil evaluasi tersebut senada dengan evaluasi
yang dilakukan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bekerjasama
dengan United Nations Development Programme (UNDP) pada 2008 yang
menemukan bahwa secara umum daerah otonom baru masih tertinggal.
Simpulan dan
temuan dari kajian di atas ternyata relatif “diamini” oleh kajian-kajian
sejenis yang meneliti perkembangan pemekaran daerah di Indonesia. Namun,
anehnya, temuan-temuan tersebut sepertinya tidak menyurutkan aspirasi
masyarakat untuk mengajukan usulan pemekaran daerah. Dari catatan yang ada di
Kementerian Dalam Negeri pada tahun 2012 sudah terdapat usulan pemekaran 33 provinsi baru, 133 kabupaten baru, serta
17 kota baru—dan masih akan terus bertambah—yang belum ditindaklajuti oleh
pemerintah meskipun sudah diajukan kepada DPR..
Faktor yang
sering diduga sebagai penyebab utama masih tingginya aspirasi usulan pemekaran
daerah di tengah banyaknya penilaian negatif terhadap keberhasilan program ini
adalah dasar yang menjadi alasan pemekaran. Alasan pemekaran daerah tidak pernah tunggal, bahkan seringkali tumpang
tindih antara alasan yang bersifat sosial, politik, maupun ekonomi.
Alasan pertama yang sering disampaikan dalam usul pemekaran daerah
adalah kondisi georgrafis yang terlalu luas yang berdampak pada kualitas
layanan publik. Dalam kajian Bappenas dan UNDP (2008) disebutkan bahwa salah
satu argumen yang mendukung pemekaran, yaitu antara lain karena adanya
kebutuhan untuk mengatasi jauhnya jarak rentang kendali antara pemerintah dan
masyarakat. Masyarakat di daerah yang jauh dari pusat pemerintahan (ibukota)
cenderung lebih susah mendapatkan layanan dan perhatian dari pemerintahan. Misalkan
saja untuk pengurusan SIM/STNK, BPJS, pajak, penyelesaian sidang pengadilan,
dan lain-lain sebagainya, masyarakat yang jauh dari pusat pemerintahan harus mengeluarkan
biaya dan waktu lebih banyak.
Alasan kedua yang turut melatarbelakangi keinginan untuk
pemekaran daerah adalah adanya sentimen identitas sosio-kultural atau etnis. Ketika
sebuah kelompok merasa memiliki ciri-ciri sosial yang sama seperti etnisitas,
agama, kesejarahan dan tingkat kohesivitas yang tinggi maka mereka cenderung untuk
menuntut pembentukan pemerintahan daerah sendiri. Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah LAN (2005)
menemukan, misalnya: masyarakat Bangka Belitung merasa berbeda dengan
masyarakat Sumatera Selatan, kemudian masyarakat Gorontalo merasa berbeda
dengan masyarakat Sulawesi Utara. Dalam bentuk lain, ada juga masyarakat yang
mengajukan pemekaran merasa sebagai komunitas budaya tersendiri yang berbeda
dengan komunitas budaya daerah induk. Sebagai contoh: masyarakat Banten merasa
secara budaya berbeda dengan masyarakat Jawa Barat. Demikian pula dengan yang
terjadi dalam banyak pemekaran kabupaten di Provinsi Papua.
Alasan ketiga yang adalah
alasan pertumbuhan ekonomi. Dengan adanya daerah baru
hasil pemekaran diharapkan akan merangsang terbentuknya pusat-pusat pertumbuhan
ekonomi baru (new economic growth centres) yang akan mendorong
percepatan pembangunan ekonomi daerah. Pemekaran daerah diharapkan akan mendorong kreatifitas baru dan
penetapan fokus dalam mengelola potensi ekonomi daerah yang ada. Hal ini akan
meningkatkan peluang untuk menggali berbagai potensi ekonomi daerah yang selama
ini kurang terperhatikan.
Alasan keempat
yang mendorong dilakukannya pemekaran adalah adanya keinginan mengambil
keuntungan (rent seeking) dari insentif fiskal yang diberikan pemerintah
pusat dan daerah induk. Alasan ini memang tidak pernah
pernah secara eksplisit disampaikan sebagai alasan pemekaran suatu daerah. Sebagaimana
diketahui, daerah yang dimekarkan akan mendapatkan anggaran dari daerah induk
selama 3 tahun dan mendapatkan dana dari pemerintah pusat (DAU dan DAK).
Fitrani, Hofman dan Kai (2005) menyatakan bahwa pemekaran telah membuka peluang
terjadinya bureaucratic and political rent-seeking, yakni kesempatan
untuk memperoleh keuntungan dana, baik dari pemerintah pusat maupun dari
penerimaan daerah sendiri.
Alasan
kelima adalah alasan politik. Sama seperti
alasan sebelumnya, alasan ini tidak pernah secara eksplisit disampaikan. Namun nuansa motif politik dalam pengusulan pemekaran suatu
daerah begitu terasa jika melihat besarnya peran elit dan kekuatan politik
dalam proses pengusulan pemekaran daerah. Sudah menjadi pengetahuan umum
jika alasan dilakukannya pemekaran adalah keinginan sekelompok elit politik
untuk memperoleh posisi kekuasaan baru di daerah yang dimekarkan. Hal ini
karena keberadaan daerah otonomi baru hasil pemekaran daerah membuka peluang
dibentuk aparat pemerintah daerah baru. Di samping itu, adanya daerah pemekaran
baru juga membuka peluang partai-partai politik menambah “alokasi” penempatan
elit-elitnya untuk menduduki jabatan politik. Daerah pemekaran baru juga
berpeluang mengkonsentrasikan dan mengkonsolidasikan basis dukungan atau
konstituen tradisional yang dimiliki sebuah kekuatan politik di suatu daerah.
Pertimbangan-pertimbangan
itulah yang kemudian mengesankan proses pemekaran lebih banyak mengedepankan
pragmatisme politik dan kurang mempertimbangkan studi kelayakan yang utuh dan memadai.
Kesan tersebut terlihat dari melonjaknya jumlah daerah pemekaran baru menjelang
pelaksanaan Pemilu (2004, 2009, dan 2014), yang tergambar dalam gambar berikut:
Sumber:
diolah dari data Kementerian Dalam Negeri dan Direktorat Otonomi Daerah
Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional / Bappenas 2014
Salah satu upaya yang dapat dilakukan
untuk menekan pragmatisme dalam pengusulan pemekaran daerah adalah
mengembalikan konteks pemekaran daerah sebagai bagian dari kebijakan penataan
daerah secara umum. Upaya ini memang tidak mudah karena menyangkut perubahan
kerangka berpikir (mindset) terhadap
kebijakan pemekaran daerah. Selama ini pemekaran daerah sering dipahami sebagai
peluang untuk membuat daerah baru, jabatan politik baru, lowongan pekerjaan
baru, alokasi anggaran baru, peneguhan identitas sosial, dan sejenisnya. Sangat
jarang pemekaran daerah dipahami sebagai agenda pembenahan wilayah (territorial reform) yang akan menjamin
efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan.
Dalam UU Pemerintahan Daerah yang baru,
yakni UU Nomor 23 Tahun 2014, penegasan soal menempatkan pemekaran daerah
sebagai bagian dari penataan daerah telah dicantumkan dengan jelas. Namun
ketentuan itu tidak akan bermakna jika tidak diikuti dengan perumusan desain
besar (grand design) penataan
pemerintahan daerah sebagaimana pernah diwacanakan beberapa waktu lalu. Rumusan
desain besar tersebut sangat penting untuk memberi panduan dalam penataan
daerah, sekaligus meredam pragmatisme dan hasrat berlebihan yang masih
membayangi dalam proses pengusulan pemekaran daerah.
Referensi:
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), United Nations
Development Programme (UNDP). 2008. Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah
2001-2007. Jakarta (ID): BRiDGE (Building and Reinventing Decentralised
Governance) Bappenas.
Direktorat Jenderal Otonomi Daerah,
Kementrian Dalam Negeri, Decentralization Support Facility. 2011. Laporan
Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (EDOHP) 2011. Jakarta (ID):
Bank Dunia
Fitrani F, Hofman B, Kai K. 2005. Unity in Diversity? The Creation
of New Local Government in A Decentralising Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies. 41(1): 57–79.
Pusat Kajian
Kinerja Otonomi Daerah. 2005. “Laporan Evaluasi Penyelenggaran Otonomi
Daerah Periode 1999-2003”, Lembaga Administrasi Negara (LAN).
Ratnawati T, Jaweng RE. 2005. Meninjau
Kebijakan Pemekaran Daerah. Jentera.
10 (3): 60
Tidak ada komentar:
Posting Komentar