Selasa, 06 Oktober 2015

Idul Adha: Napak Tilas Keteguhan Nabi Ibrahim dan Ismail

Idul Adha yang kita peringati setiap tahun, berasal dari kata 'Id yang berarti: kembali, dan Adha yang berarti: berkurban atau menyembelih hewan yang biasa digunakan untuk berkurban, seperti: unta, sapi, domba, dan kambing. Dengan demikian Idul Adha bisa diartikan kembali berkurban. Kata kurban sendiri berasal dari kata qurba, yang berarti: dekat. Dengan demikian kurban pun dapat dimaknai mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sejarah berkurban bermula dari kisah Habil dan Qabil. Dalam konteks Idul Adha, sejarah berkurban juga merupakan napak tilas dari kisah keteguhan Nabi Ibrahim AS beserta istrinya, Hajar, dan anaknya, Ismail AS.


Dikisahkan bahwa melihat kesabaran dan ketabahan Nabi Ibrahim AS dalam menghadapi ujian dan cobaan selama ia mengemban amanah menyampaikan risalah tauhid, Allah SWT pun memberinya sebuah anugerah, sebuah kehormatan, dengan gelar "Khalilullah" (Kekasih Allah). Rupanya pemberian gelar Khalilullah kepada Nabi Ibrahim AS ini mengusik rasa penasaran para malaikat. Malaikat pun bertanya kepada Allah: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau menjadikan Ibrahim sebagai Kekasih-Mu? Padahal ia disibukkan oleh urusan kekayaannya dan keluarganya?" Seolah-olah para malaikat memprotes kenapa gelar tersebut tidak disematkan kepada mereka (para malaikat) yang jelas-jelas ketaatan dan kesetiaan mereka kepada Allah SWT. Lalu Allah SWT pun berfirman: "Janganlah menilai hamba-Ku Ibrahim ini dengan ukuran lahiriyah, tengoklah isi hati dan amal perbuatannya.." Kemudian Allah SWT mengijinkan para malaikat menguji keimanan dan ketaqwaan Nabi Ibrahim AS.

Dalam kitab "Misykatul Anwar" karya Imam Ghazali disebutkan bahwa konon Nabi Ibrahim AS memiliki kekayaan 1.000 ekor domba, 300 ekor lembu, dan 100 ekor unta. Riwayat lain menyebutkan bahwa kekayaan Nabi Ibrahim AS mencapai 12.000 ekor binatang ternak. Suatu jumlah yang menurut ukuran orang di zamannya, bahkan di zaman sekarang, tergolong kaya raya. Hingga pada suatu hari, ketika ada orang yang bertanya "milik siapakah ternak sebanyak ini?" maka Nabi Ibrahim AS menjawab: "Itu kepunyaan Allah, tapi kini dititipkan padaku. Sewaktu-waktu bila Allah menghendaki, aku serahkan semuanya. Jangankan cuma ternak, bila Allah meminta anak kesayanganku, niscaya akan kuserahkan juga." Pernyataan terakhir Nabi Ibrahim AS itu merupakan ungkapan karena Sarah, istri beliau, belum juga dikaruniai anak.


Kemudian Sarah menyarankan kepada Ibrahim agar menikahi Hajar, budaknya yang berasal dari Mesir. Maka ketika masih di daerah Baitul Maqdis (Yerussalem), beliau berdoa kepada Allah SWT agar dikaruniai seorang anak. Doa beliau akhirnya dikabulkan oleh Allah SWT. Ada yang mengatakan bahwa sat itu usia Nabi Ibrahim sudah mencapai 99 tahun. Dan karena demikian lamanya menanti kehadiran anak, maka Ibrahim pun memberi nama anaknya: Ismail, yang berarti "Dia telah mendengar". Hal itu sebagai ungkapan kegembiraan karena akhirnya beliau dikarunia seorang putra, seolah-olah Ibrahim berseru: "Allah telah mendengar doaku".



Ibnu Katsir dalam tafsir Al-Qur’anul A‘dzim mengemukakan bahwa setelah Allah mengaruniakan pada Nabi Ibrahim seorang anak, maka ungkapan Nabi Ibrahim yang rela anaknya diserahkan pada Allah itulah yang kemudian dijadikan bahan ujian.

Sejarah kemudian mencatat, bahwa setelah Ismail lahir, Allah SWT memerintahkan Ibrahim untuk membawa Ismail dan ibunya, Hajar, ke sebuah lembah tandus—yang kemudian kita kenal dengan Mekkah—dan meninggalkan mereka di sana. Episode yang terkenal pada momentum itu adalah saat mereka kehabisan air. Hajar sempat berlari-lari kecil mencari air dari bukit Shafa hingga bukit Marwa sampai 7 kali, namun yang ditemuninya hanya fatamorgana. Dengan kehendak dan kekuasan-Nya, Allah SWT mengaruniakan sumber air di dekat kaki bayi Ismail diletakkan yang kemudian disebut sumur Zam-zam, sesuai ungkapan girang yang diucapkan Hajar ketika mendapati sumber air tersebut. Peristiwa Hajar berlari-lari kecil dari bukit Shofa dan Marwa hingga 7 kali itu kemudian dijadikan menjadi salah satu prosesi ibadah haji, yakni Sa’i.

Ketika usia Ismail menginjak kira-kira 7 tahun (ada pula yang berpendapat 13 tahun), Nabi Ibrahim AS diperintahkan oleh Allah SWT untuk menengok putra dan istrinya, sekaligus membangun Ka’bah di sana. Pada malam hari ke-8 di bulan Dzulhijjah, Nabi Ibrahim AS bermimpi ada seruan, “Hai Ibrahim! Penuhilah nazarmu (janjimu).” Pagi harinya, beliau pun berpikir dan merenungkan arti mimpinya semalam. Apakah mimpi itu dari Allah SWT atau dari syaitan? Dari sinilah kemudian tanggal 8 Dzulhijah disebut sebagai hari Tarwiyah (artinya, berpikir/merenung). Dapat dibayangkan betapa galaunya hati Nabi Ibrahim AS ketika merenungkan perintah dalam mimpinya tersebut. Anak pertamanya yang begitu lama ditunggu kehadirannya, yang kemudian ditinggalkan bersama ibunya di lembah yang tandus selama bertahun-tahun, kini ketika ditengok dan belum sampai puas melepas rasa rindunya justru mendapat perintah untuk disembelih.

Pada malam ke-9 di bulan Dzulhijjah, beliau kembali bermimpi sama dengan malam sebelumnya. Pagi harinya, beliau baru mengenali dengan yakin bahwa mimpinya itu berasal dari Allah SWT. Dari sinilah hari ke-9 Dzulhijjah disebut dengan hari ‘Arafah (artinya mengenali), dan bertepatan pula waktu itu beliau sedang berada di tanah Arafah (tanah yang luas). Saat itulah beliau mengenali bahwa mimipi tersebut benar-benar merupakan perintah Allah SWT, bukan mimpi dari syaitan.

Malam berikutnya lagi, pada 10 Dzulhijjah, beliau mimpi lagi dengan mimpi yang serupa. Maka, keesokan harinya, beliau bertekad untuk melaksanakan nazarnya (janjinya) itu. Karena itulah, hari itu disebut dengan yaumun nahr, hari menyembelih. Maka, pagi itu Nabi Ibrahim pun memanggil anaknya Ismail dan diminta pendapatnya tentang perintah Allah untuk menyembelih dirinya. Peristiwa itu diabadikan dalam Al-Qur’an Surah As-Shaffat : 102 yang artinya: Ibrahim berkata : “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu maka fikirkanlah apa pendapatmu? Ismail menjawab: Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.”

Ketika keduanya siap untuk melaksanakan perintah Allah. Iblis SWT datang menggoda sang ayah,  sang ibu, dan sang anak silih berganti. Akan tetapi Nabi Ibrahim AS, Siti Hajar dan Ismail tidak tergoyah oleh bujuk rayuan iblis yang menggoda agar membatalkan niatnya. Bahkan Siti Hajar pun mengatakan, : ”jika memang benar perintah Allah, akupun siap untuk disembelih sebagai gantinya Ismail.” Mereka melempar iblis dengan batu, mengusirnya pergi dan Iblis pun lari tunggang langgang. Peristiwa ini kemudian menjadi salah satu rangkaian ibadah haji, yakni melempar jumrah; jumrotul ula, wustho, dan aqobah yang dilaksanakan di Mina.

Nabi Ibrahim menjawab ”baiklah anakku, Allah SWT akan menolongmu”. Setelah Ismail, putra tercinta ditelentangkan di atas sebuah batu, dan pisaupun diletakkan di atas lehernya, Ibrahim pun menyembelih dengan menekan pisau itu kuat-kuat, namun tidak mempan, bahkan tergorespun tidak.

Pada saat itu, Allah SWT membuka dinding yang menghalangi pandangan malaikat di langit dan di bumi, mereka tunduk dan sujud kepada Allah SWT, takjub menyaksikan keduanya. ”Lihatlah hamba-Ku itu, dia rela dan senang hati menyembelih anaknya sendiri dengan pisau, karena semata-mata untuk memperoleh keridhaan-Ku.”

Sementara itu, Ismail pun berkata : ”Ayah..bukalah ikatan kaki dan tanganku, agar Allah SWT tidak melihatku dalam keadaan terpaksa, dan letakkan pisau itu di leherku, supaya malaikat menyaksikan putra Ibrahim taat dan patuh kepada perintah-Nya.”

Ibrahim mengabulkannya. Lantas membuka ikatan dan menekan pisau itu ke lehernya kuat-kuat, namun lehernya tidak apa-apa, bahkan bila ditekan, pisau itu berbalik, yang tajam berada di bagian atas. Ibrahim mencoba memotongkan pisau itu ke sebuah batu, ternyata batu yang keras itu terbelah. ”hai pisau, engkau sanggup membelah batu, tapi kenapa tidak sanggup memotong leher?” tanya Ibrahim. Dengan izin Allah SWT, pisau itu menjawab, ”Anda ingin aku bisa memotong, tapi Allah SWT mengatakan jangan potong, mana mungkin aku memenuhi perintahmu wahai Ibrahim, jika akibatnya akan durhaka kepada Allah SWT

Dalam pada itu Allah SWT memerintahkan Jibril untuk mengambil seekor qibasy (domba yang besar) dari surga sebagai gantinya. Dan Allah SWT berseru dengan firman-Nya, menyuruh Ibrahim menghentikan perbuatannya, tidak usah diteruskan pengorbanan terhadap anaknya. Allah SWT telah meridhai ketaatan ayah dan anak ini. Sebagai imbalan atas keikhlasan mereka, Allah SWT mencukupkan dengan penyembelihan seekor domba sebagai korban, sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an surat As-Shaffat ayat 107-110: “Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian. Yaitu kesejahteraan semoga dilimpahkan kepada Ibrahim. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.

Menyaksikan ketaatan keduanya, Malaikat Jibril datang dari syurga dengan membawa seekor qibasy, kagumlah ia seraya terlontar darinya ucapan “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar! Nabi Ibrahim menyambutnya“Laa ilaah illallah Wallahu akbar!”. Yang kemudian disambung oleh Nabi Ismail dengan “Allahu Akbar, Walillahil hamd!"

Kira-kira seperti itulah sejarah yang mendasari adanya Hari Raya Idul Adha setiap tanggal 10 Dzulhijjah, sebagaimana kita peringati saat ini. Ada banyak hikmah dari keteladanan yang diberikan oleh Nabi Ibrahim AS, beserta Hajar dan Ismail. Dari sekian banyak hikmah yang bisa kita hayati, paling tidak, ada 3 hal utama yang menjadi tema pokok dari Idul Adha.

Pertama, perintah dan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh Allah SWT, harus dilaksanakan, harus ditaati, harus dijalankan dengan ikhlas, dilakukan dengan sepenuh hati. Sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Ibrahim beserta istri dan anaknya, dimana mereka begitu teguh dan tanpa kompromi dalam menegakkan aturan yang telah digariskan oleh Allah SWT. Bahkan, jiwa mereka pun rela dikorbankan, demi dapat melaksanakan perintah-perintah Allah SWT.

Kedua, adalah betapa kuatnya kegigihan syaitan untuk terus menerus menggoda manusia agar berpaling dari ketentuan Allah SWT. Syaitan senantiasa terus berusaha menyeret manusia ke jurang kejahatan dan kehancuran. Dia tidak hanya membisikkan kejahatan dan keingkaran dari dalam diri kita, tetapi juga melalui suami atau istri kita, anak-anak kita, dan lingkungan di sekitar kita. Allah sendiri mengingatkan kepada kita: Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.”

Ketiga, jenis sembelihan berupa hewan ternak merupakan gambaran bahwa rasa kepemilikan dan rasa cinta akan dunia harus bisa kita hilangkan bila kita ingin lebih dekat kepada Allah SWT. Kurban bukan sekedar menyembelih hewan kurban kemudian dagingnya dibagikan kepada orang-orang yang berhak menerima. Kurban yang dimaksudkan adalah melaksanakan pengurbanan hakiki, yakni mengurbankan sebagian yang kita cintai, baik harta benda maupun kehormatan untuk dibagikan kepada orang yang lebih membutuhkannya. Hal itu dilakukan semata-mata melaksanakan “ta’abbudan lillah”, semata-mata mengabdi kepada Allah

(bagian dari isi Khotbah Idul Adha 1433 H yang disampaikan di Lapangan Mushola Baitul Muttaqien Perumahan Pesona  Cilebut, Bogor)

Sumber:
Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, Misykatul Anwar (terjemahan), [internet] diunduh dari www.isnet.com
Nasiruddin, S.Ag, MM, 2007, Kisah Orang-Orang Sabar, Republika, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar