Jumat, 21 Agustus 2015

Sisi Lain Pilkada Serentak

Oleh: Rasyid Widada

Sebagai sebuah wacana yang akhirnya menjadi produk kebijakan, proses disepakatinya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak cukup menarik untuk dikaji. Proses pembahasan RUU Pilkada yang terjadi di masa-masa peralihan periode kepemimpinan nasional turut menjadikannya terbawa dalam dinamika politik yang berkelok-kelok. Beragam kepentingan beserta perdebatan yang menyertainya berkembang sedemikian keras hingga sempat menimbulkan kegaduhan politik yang luar biasa riuh.
Salah satu tujuan dirumuskannya UU Pilkada adalah keinginan untuk membuat perundangan tersendiri yang secara khusus mengatur pemilihan kepala daerah, terlepas dari dari UU Pemerintah Daerah. Di sisi lain, ada banyak kajian ataupun analisis yang mulai dilakukan pada tahun 2007 hingga 2012, guna mengevaluasi penyelenggaraan Pilkada secara langsung yang telah diterapkan semenjak awal reformasi. Kajian-kaian tersebut diantaranya dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri, lembaga-lembaga kajian yang perhatian terhadap otonomi daerah, hingga ormas sosial keagamaan. Hampir semua kajian yang ada memang mengakui bahwa pilkada langsung lebih menjamin tersalurkannya aspirasi masyarakat secara langsung dalam menentukan sosok yang akan dijadikan sebagai pemimpin di daerah mereka. Namun di saat bersamaan, kajian-kajian tersebut juga menemukan beberapa nilai minus dari penerapan pilkada secara langsung.


Temuan Evaluasi Pilkada Langsung
Paling tidak, ada lima poin minus yang seringkali ditemukan dari kajian evaluatif tentang pilkada langsung ini.  Poin negatif yang pertama adalah maraknya politik uang (money politics) di tengah masyarakat. Praktek politik uang tidak hanya terjadi saat menjelang proses pemilihan dilakukan di bilik suara, tetapi sudah terjadi jauh sebelum proses pencalonan. Praktek politik uang semakin terasa wujud dan intensitasnya dalam masa kampanye hingga jam-jam terakhir menjelang waktu pelaksanaan pemilihan. Setelah proses pemungutan suara selesai, praktek politik uang pun belum selesai. Kali ini mengarah pada penyelenggara pilkada (KPUD maupun Panwaslu). Sudah bukan rahasia lagi jika ada oknum-oknum penyelenggara pilkada yang ikut bermain dalam proses penghitungan suara yang akan menentukan hasil pilkada.
Praktek politik uang inilah yang akhirnya menyebabkan poin negatif yang kedua, yakni banyaknya kepala daerah maupun mantan kepala daerah yang terjerat kasus kejahatan korupsi atau penyalahgunaan wewenang. Lebih dari 300 kepala daerah atau mantan kepala daerah yang telah atau tengah diproses secara hukum akibat dugaan tindak pidana korupsi dalam kurun waktu penerapan pilkada langsung. Kondisi tersebut tidak lepas dari besarnya modal untuk menjadi kontestan pilkada sebagaimana dijabarkan di atas.
Poin negatif yang ketiga adalah adanya penempatan pejabat-pejabat eselon di daerah yang tidak memenuhi kaidah kompetensi dan profesionalitas. Banyak sekali kejadian setelah kepala daerah terpilih dilantik, terjadi mutasi besar-besaran di lingkungan pejabat daerah. Sayangnya, mutasi tersebut dilakukan secara serampangan dengan alasan pragmatis atau balas budi. Kepala Dinas Pendidikan, misalnya, yang seharusnya diisi oleh figur yang berlatar belakang dan paham soal pendidikan malah diisi dengan figur yang tidak tahu apa-apa soal pendidikan. Demikian halnya dengan kepala-kepala dinas ”basah” yang lain. Sebagian besar personel yang ditempatkan sebagai pejabat merupakan mantan anggota tim sukses, keluarga dekat, atau kolega dari sang kepala daerah. Akibatnya, jalannya pemerintahan menjadi tidak berkualitas dan kinerjanya jauh dari harapan masyarakat.
Hal negatif keempat adalah meningkatnya konflik horisontal di kalangan masyarakat selepas hajatan pilkada. Meskipun tidak selalu terjadi, namun konflik akibat ketidakpuasan kubu atau pendukung calon yang kalah dalam pilkada masih menjadi kekhawatiran yang logis dalam setiap gelaran pilkada. Praktek politik uang dan keraguan terhadap integritas penyelenggara pilkada seringkali menjadi pemicu adanya dugaan kecurangan yang akhirnya meletuskan konflik. Belum lagi bila ada unsur perbedaan etnis dan agama yang memperuncing konflik masyarakat di suatu daerah.
Poin negatif terakhir adalah relatif mahalnya biaya penyelenggaraan pilkada langsung dibanding dengan pilkada oleh DPRD. Dengan memperhatikan kinerja kepala daerah hasil pilkada langsung, terlihat tidak ada peningkatan signifikan dibanding kepala daerah yang dipilih oleh DPRD. Bahkan, yang banyak dijumpai justru kinerja kepala daerah hasil pilkada langsung malah jauh lebih buruk. Dengan perbandingan seperti itu, cukup wajar jika kemudian ada yang mempertanyakan kemanfaatan dari besarnya biaya penyelenggaraan pilkada langsung terhadap hasil yang didapatkan.
Poin-poin negatif itulah yang mendorong beberapa akademisi, institusi, maupun lembaga kajian untuk menyampaikan saran agar Pemerintah mengevaluasi model pilkada langsung. Namun mereka juga sadar bahwa pilkada langsung oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai anugerah reformasi yang tidak bisa dihapus begitu saja. Oleh karena itu, sebagian besar rekomendasi yang disampaikan adalah pilkada gubernur dikembalikan lagi ke DPRD provinsi, sedangkan pilkada bupati/walikota tetap dilaksanakan secara langsung.
Alasan yang sering dikemukakan untuk mendukung rekomendasi tersebut adalah bahwa gubernur merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat sehingga akan lebih tepat dan efisien jika pemilihannya dilakukan oleh DPRD. Dalam kurun waktu antara 2007-2012, rekomendasi tersebut di antaranya pernah disampaikan oleh Lemhannas, NU, dan Muhammadiyah. Bahkan PBNU secara tegas menyampaikan bahwa pilkada langsung lebih banyak madharat-nya daripada maslahat-nya. Sikap pemerintah sendiri juga tidak terlalu berbeda. Dalam berbagai kesempatan, Kementerian Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Otonomi Daerah juga sering melempar wacana untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD. Hal ini melihat beberapa ekses negatif dari pelkada langsung.

Dinamika Pembahasan RUU Pilkada
Demi mengakomodasi berbagai aspirasi tersebut, wacana pengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD inipun diusulkan sebagai materi dalam pembahasan revisi UU tentang Pemerintah Daerah dan rancangan UU Pilkada yang mulai digulirkan pada tahun 2012. Namun usulan tersebut tidak mendapat dukungan dari parlemen. Suara yang berkembang di elit politik dan parlemen saat itu lebih banyak (kalau tidak mau dikatakan semuanya) yang menginginkan agar model pilkada langsung tetap dipertahankan. Kecenderungan elit politik dan parlemen tersebut bisa dipahami karena selama ini parpol merasakan manfaat rente politik dari model pilkada langsung.
Situasi berbalik 180 derajat setelah hasil Pemilu 2014 menghasilkan komposisi kekuatan DPR yang terbelah secara diametral. Muncul kekuatan politik di DPR yang kemudian menamakan diri sebagai Koalisi Merah Putih (KMP) di satu kubu, dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) di kubu yang lain. KMP adalah sekumpulan parpol yang dalam Pilpres 2014 mengusung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Sedangkan KIH merupakan koalisi diantara parpol pendukung pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Kekalahan tipis pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dalam Pilpres 2014 seolah mendorong parpol yang tergabung dalam KMP untuk mendapatkan kemenangan pada arena pertempuran politik di daerah (baca: pilkada).
Jika sebelumnya parlemen relatif bersuara bulat mempertahankan model pilkada langsung, maka setelah hasil Pemilu 2014 terjadi perubahan sikap di kalangan elit politik yang terhimpun dalam KMP. Mereka kompak menyuarakan kembali wacana pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Dasar argumentasi yang sering mereka kemukakan adalah mendasarkan pada penafsiran bunyi Sila ke-4 Pancasila yang menyebutkan frasa ”permusyawaratan/ perwakilan”.
Dengan kekuatan suara yang dimiliki KMP di DPR serta ”dibantu” dengan sikap Fraksi Partai Demokrat yang menyatakan walk out, akhirnya Sidang Paripurna DPR pada tanggal 26 September 2014 pun menetapkan UU Pilkada dengan menggunakan model pilkada oleh DPRD. Penetapan UU Pilkada ini akhirnya berbuntut panjang karena banyak penentangan yang kemudian disampaikan oleh sekelompok masyarakat, terutama aktifis demokrasi. Mereka mencurigai bahwa pengembalian model pilkada oleh DPRD tidak lebih hanya untuk memenuhi tujuan pragmatis parpol yang tergabung dalam KMP. Situasi ini yang pada akhirnya meningkatkan sentimen negatif masyarakat terhadap kebijakan pengembalian pilkada ke DPRD. Masyarakat menganggap bahwa hal tersebut merupakan bentuk perampasan hak politik rakyat dalam memilih pimpinan di daerahnya. 
Di tengah kegaduhan politik tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono—yang juga Ketua Umum sekaligus Ketua Dewan Pembina DPP Partai Demokrat—sampai harus mengeluarkan dua perpu sekaligus, yaitu Perppu Nomor 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur dan Bupati/Wali Kota, dan Perppu Nomor 2/2014 tentang Perubahan UU Nomor 23/2014. Penerbitan Perppu Nomor 1/2014 sekaligus mencabut UU Nomor 22/2014 tentang Pilkada yang diputus DPR 26 September 2014 yang mengatur pilkada oleh DPRD. Sedangkan, Perppu Nomor 2/2014 hanya mencabut dua pasal UU Nomor 23/2014 yang terkait kewenangan DPRD memilih kepala daerah.
Pascapenerbitan Perppu tersebut kemudian terjadi beberapa kali lobby politik tingkat tinggi di antara petinggi partai politik. Hingga pada akhirnya disepakati model pilkada langsung yang pelaksanaannya dilaksanakan secara serentak. Model ini dianggap mampu mengurangi kelemahan model pilkada langsung sebelumnya yang dianggap berbiaya tinggi. Di samping itu, pilkada serentak akan lebih menjadikan sinkronisasi perencanaan pembangunan dan koordinasi program pembangunan antara pemerintah pusat dengan permerintah daerah akan lebih mudah tertata.

Proyeksi Pilkada Serentak
Memperhatikan dinamika yang mengiringi diterapkannya model pilkada serentak, ada beberapa hal yang bisa dijadikan catatan di sini. Pertama, pilihan terhadap pilkada serentak sepertinya lebih dipengaruhi oleh berkembangnya sentimen negatif masyarakat terhadap tujuan pragmatis sekelompok elit politik yang menginginkan pilkada melalui DPRD. Sentimen negatif tersebut seolah melupakan beberapa kritik dan evaluasi terhadap pilkada langsung yang menemukan adanya beberapa ekses negatif. Semangat yang berkembang saat itu lebih banyak pada sisi bahwa pilkada langsung merupakan anugerah demokrasi kepada rakyat Indonesia yang tidak boleh dirampas dari tangan mereka.
Kedua, karena lebih dipengaruhi oleh suasana politik yang seperti itu maka model pilkada serentak sebenarnya tidak lebih dari facelift (perubahan ringan) dari model pilkada langsung yang diterapkan sebelumnya. Titik utama perubahannya hanya terletak pada waktu pelaksanaannya yang dilaksanakan secara serentak. Artinya, beberapa ekses negatif dari pilkada langsung yang telah diselenggarakan selama ini dipastikan masih akan tetap terjadi dalam model pilkada serentak nantinya.
Ketiga, beberapa masalah dan peristiwa terakhir seputar agenda pilkada serentak 2015 semakin membuktikan bahwa upaya untuk memperbaiki kualitas demokrasi dalam hajatan pilkada masih menjadi pekerjaan rumah yang lumayan berat. Klaim bahwa pilkada serentak akan lebih hemat biaya, misalnya, menjadi tidak valid dengan membengkaknya anggaran pilkada serentak yang diajukan KPU. Dari perhitungan awal yang hanya sekitar 4 triliun rupiah, ternyata membengkak hingga 7 triliun rupiah. Nilai tersebut jauh lebih mahal dari anggaran pilkada tahun sebelumnya yang hanya berkisar 5 triliun rupiah. Belum lagi ditambah dengan temuan audit BPK terhadap KPU yang menemukan adanya indikasi kerugian negara sebesar 334 miliar rupiah. Temuan BPK ini sedikit banyak akan mempengaruhi integritas KPU sebagai penyelenggara pemilu.
Memperhatikan itu semua bukan berarti kita harus terus memupuk pesimisme terhadap masa depan demokrasi Indonesia. Justru sebaliknya, sikap yang harus dikembangkan adalah terus menjaga dan mengawal agar proses demokrasi yang berjalan dapat memenuhi cita-cita dasar kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tulisan ini pernah dimuat pada Majalah EDUKRASI (majalah terbitan kerjasama IER Universitas Paramadina dengan Konrad Adenauer Stiftung) Edisi 2/2015

1 komentar:

  1. Wynn Resorts Ltd | Dr.MD
    Wynn Resorts, Ltd. is a publicly traded corporation, which 구리 출장마사지 engages in 동두천 출장안마 the management, 충주 출장안마 licensing, 충청남도 출장안마 and operations of land, gambling, and 평택 출장안마 internet

    BalasHapus