Oleh: Rasyid Widada
Sebagai sebuah wacana yang akhirnya menjadi produk
kebijakan, proses disepakatinya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak cukup
menarik untuk dikaji. Proses pembahasan RUU Pilkada yang terjadi di masa-masa
peralihan periode kepemimpinan nasional turut menjadikannya terbawa dalam dinamika
politik yang berkelok-kelok. Beragam kepentingan beserta perdebatan yang
menyertainya berkembang sedemikian keras hingga sempat menimbulkan kegaduhan
politik yang luar biasa riuh.
Salah satu tujuan dirumuskannya UU Pilkada adalah
keinginan untuk membuat perundangan tersendiri yang secara khusus mengatur
pemilihan kepala daerah, terlepas dari dari UU Pemerintah Daerah. Di sisi lain,
ada banyak kajian ataupun analisis yang mulai dilakukan pada tahun 2007 hingga
2012, guna mengevaluasi penyelenggaraan Pilkada secara langsung yang telah diterapkan
semenjak awal reformasi. Kajian-kaian tersebut diantaranya dilakukan oleh
Kementerian Dalam Negeri, lembaga-lembaga kajian yang perhatian terhadap
otonomi daerah, hingga ormas sosial keagamaan. Hampir semua kajian yang ada memang
mengakui bahwa pilkada langsung lebih menjamin tersalurkannya aspirasi
masyarakat secara langsung dalam menentukan sosok yang akan dijadikan sebagai
pemimpin di daerah mereka. Namun di saat bersamaan, kajian-kajian tersebut juga
menemukan beberapa nilai minus dari penerapan pilkada secara langsung.
Paling tidak, ada lima poin minus yang seringkali
ditemukan dari kajian evaluatif tentang pilkada langsung ini. Poin negatif yang pertama adalah maraknya politik uang (money politics) di tengah masyarakat. Praktek politik uang tidak
hanya terjadi saat menjelang proses pemilihan dilakukan di bilik suara, tetapi
sudah terjadi jauh sebelum proses pencalonan. Praktek politik uang semakin
terasa wujud dan intensitasnya dalam masa kampanye hingga jam-jam terakhir menjelang
waktu pelaksanaan pemilihan. Setelah proses pemungutan suara selesai, praktek
politik uang pun belum selesai. Kali ini mengarah pada penyelenggara pilkada
(KPUD maupun Panwaslu). Sudah bukan rahasia lagi jika ada oknum-oknum
penyelenggara pilkada yang ikut bermain dalam proses penghitungan suara yang
akan menentukan hasil pilkada.
Praktek politik uang inilah yang akhirnya menyebabkan poin
negatif yang kedua, yakni banyaknya
kepala daerah maupun mantan kepala daerah yang terjerat kasus kejahatan korupsi
atau penyalahgunaan wewenang. Lebih dari 300 kepala daerah atau mantan kepala
daerah yang telah atau tengah diproses secara hukum akibat dugaan tindak pidana
korupsi dalam kurun waktu penerapan pilkada langsung. Kondisi tersebut tidak
lepas dari besarnya modal untuk menjadi kontestan pilkada sebagaimana
dijabarkan di atas.
Poin negatif yang ketiga
adalah adanya penempatan pejabat-pejabat eselon di daerah yang tidak memenuhi
kaidah kompetensi dan profesionalitas. Banyak sekali kejadian setelah kepala
daerah terpilih dilantik, terjadi mutasi besar-besaran di lingkungan pejabat
daerah. Sayangnya, mutasi tersebut dilakukan secara serampangan dengan alasan
pragmatis atau balas budi. Kepala Dinas Pendidikan, misalnya, yang seharusnya
diisi oleh figur yang berlatar belakang dan paham soal pendidikan malah diisi
dengan figur yang tidak tahu apa-apa soal pendidikan. Demikian halnya dengan
kepala-kepala dinas ”basah” yang lain. Sebagian besar personel yang ditempatkan
sebagai pejabat merupakan mantan anggota tim sukses, keluarga dekat, atau
kolega dari sang kepala daerah. Akibatnya, jalannya pemerintahan menjadi tidak berkualitas
dan kinerjanya jauh dari harapan masyarakat.
Hal negatif keempat
adalah meningkatnya konflik horisontal di kalangan masyarakat selepas hajatan
pilkada. Meskipun tidak selalu terjadi, namun konflik akibat ketidakpuasan kubu
atau pendukung calon yang kalah dalam pilkada masih menjadi kekhawatiran yang
logis dalam setiap gelaran pilkada. Praktek politik uang dan keraguan terhadap
integritas penyelenggara pilkada seringkali menjadi pemicu adanya dugaan
kecurangan yang akhirnya meletuskan konflik. Belum lagi bila ada unsur
perbedaan etnis dan agama yang memperuncing konflik masyarakat di suatu daerah.
Poin negatif terakhir adalah relatif mahalnya biaya
penyelenggaraan pilkada langsung dibanding dengan pilkada oleh DPRD. Dengan
memperhatikan kinerja kepala daerah hasil pilkada langsung, terlihat tidak ada
peningkatan signifikan dibanding kepala daerah yang dipilih oleh DPRD. Bahkan,
yang banyak dijumpai justru kinerja kepala daerah hasil pilkada langsung malah
jauh lebih buruk. Dengan perbandingan seperti itu, cukup wajar jika kemudian
ada yang mempertanyakan kemanfaatan dari besarnya biaya penyelenggaraan pilkada
langsung terhadap hasil yang didapatkan.
Poin-poin negatif itulah yang mendorong beberapa
akademisi, institusi, maupun lembaga kajian untuk menyampaikan saran agar Pemerintah
mengevaluasi model pilkada langsung. Namun mereka juga sadar bahwa pilkada
langsung oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai anugerah reformasi yang
tidak bisa dihapus begitu saja. Oleh karena itu, sebagian besar rekomendasi
yang disampaikan adalah pilkada gubernur dikembalikan lagi ke DPRD provinsi,
sedangkan pilkada bupati/walikota tetap dilaksanakan secara langsung.
Alasan yang sering dikemukakan untuk mendukung
rekomendasi tersebut adalah bahwa gubernur merupakan kepanjangan tangan dari
pemerintah pusat sehingga akan lebih tepat dan efisien jika pemilihannya
dilakukan oleh DPRD. Dalam kurun waktu antara 2007-2012, rekomendasi tersebut
di antaranya pernah disampaikan oleh Lemhannas, NU, dan Muhammadiyah. Bahkan PBNU
secara tegas menyampaikan bahwa pilkada langsung lebih banyak madharat-nya daripada maslahat-nya. Sikap pemerintah sendiri
juga tidak terlalu berbeda. Dalam berbagai kesempatan, Kementerian Dalam Negeri
melalui Direktorat Jenderal Otonomi Daerah juga sering melempar wacana untuk
mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD. Hal ini melihat beberapa
ekses negatif dari pelkada langsung.
Dinamika Pembahasan RUU Pilkada
Demi mengakomodasi berbagai aspirasi tersebut, wacana pengembalikan
pemilihan kepala daerah kepada DPRD inipun diusulkan sebagai materi dalam
pembahasan revisi UU tentang Pemerintah Daerah dan rancangan UU Pilkada yang mulai
digulirkan pada tahun 2012. Namun usulan tersebut tidak mendapat dukungan dari
parlemen. Suara yang berkembang di elit politik dan parlemen saat itu lebih
banyak (kalau tidak mau dikatakan semuanya) yang menginginkan agar model
pilkada langsung tetap dipertahankan. Kecenderungan elit politik dan parlemen
tersebut bisa dipahami karena selama ini parpol merasakan manfaat rente politik
dari model pilkada langsung.
Situasi berbalik 180 derajat setelah hasil Pemilu 2014
menghasilkan komposisi kekuatan DPR yang terbelah secara diametral. Muncul
kekuatan politik di DPR yang kemudian menamakan diri sebagai Koalisi Merah
Putih (KMP) di satu kubu, dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) di kubu yang lain.
KMP adalah sekumpulan parpol yang dalam Pilpres 2014 mengusung pasangan Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa. Sedangkan KIH merupakan koalisi diantara parpol
pendukung pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Kekalahan tipis pasangan Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa dalam Pilpres 2014 seolah mendorong parpol yang tergabung
dalam KMP untuk mendapatkan kemenangan pada arena pertempuran politik di daerah
(baca: pilkada).
Jika sebelumnya parlemen relatif bersuara bulat
mempertahankan model pilkada langsung, maka setelah hasil Pemilu 2014 terjadi
perubahan sikap di kalangan elit politik yang terhimpun dalam KMP. Mereka
kompak menyuarakan kembali wacana pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Dasar
argumentasi yang sering mereka kemukakan adalah mendasarkan pada penafsiran bunyi
Sila ke-4 Pancasila yang menyebutkan frasa ”permusyawaratan/ perwakilan”.
Dengan kekuatan suara yang dimiliki KMP di DPR serta
”dibantu” dengan sikap Fraksi Partai Demokrat yang menyatakan walk out, akhirnya Sidang Paripurna DPR
pada tanggal 26 September 2014 pun menetapkan UU Pilkada dengan menggunakan
model pilkada oleh DPRD. Penetapan UU Pilkada ini akhirnya berbuntut panjang
karena banyak penentangan yang kemudian disampaikan oleh sekelompok masyarakat,
terutama aktifis demokrasi. Mereka mencurigai bahwa pengembalian model pilkada
oleh DPRD tidak lebih hanya untuk memenuhi tujuan pragmatis parpol yang
tergabung dalam KMP. Situasi ini yang pada akhirnya meningkatkan sentimen
negatif masyarakat terhadap kebijakan pengembalian pilkada ke DPRD. Masyarakat
menganggap bahwa hal tersebut merupakan bentuk perampasan hak politik rakyat
dalam memilih pimpinan di daerahnya.
Di tengah kegaduhan politik tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono—yang juga Ketua Umum sekaligus Ketua Dewan Pembina DPP Partai
Demokrat—sampai harus mengeluarkan dua perpu sekaligus, yaitu
Perppu Nomor 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur dan Bupati/Wali Kota, dan Perppu
Nomor 2/2014 tentang Perubahan UU Nomor 23/2014. Penerbitan Perppu Nomor 1/2014
sekaligus mencabut UU Nomor 22/2014 tentang Pilkada yang diputus DPR 26
September 2014 yang mengatur pilkada oleh DPRD. Sedangkan, Perppu Nomor 2/2014
hanya mencabut dua pasal UU Nomor 23/2014 yang terkait kewenangan DPRD memilih
kepala daerah.
Pascapenerbitan
Perppu tersebut kemudian terjadi beberapa kali lobby politik tingkat tinggi di
antara petinggi partai politik. Hingga pada akhirnya disepakati model pilkada langsung
yang pelaksanaannya dilaksanakan secara serentak. Model ini dianggap mampu
mengurangi kelemahan model pilkada langsung sebelumnya yang dianggap berbiaya
tinggi. Di samping itu, pilkada serentak akan lebih menjadikan sinkronisasi
perencanaan pembangunan dan koordinasi program pembangunan antara pemerintah
pusat dengan permerintah daerah akan lebih mudah tertata.
Proyeksi
Pilkada Serentak
Memperhatikan
dinamika yang mengiringi diterapkannya model pilkada serentak, ada beberapa hal
yang bisa dijadikan catatan di sini. Pertama,
pilihan terhadap pilkada serentak sepertinya lebih dipengaruhi oleh
berkembangnya sentimen negatif masyarakat terhadap tujuan pragmatis sekelompok
elit politik yang menginginkan pilkada melalui DPRD. Sentimen negatif tersebut
seolah melupakan beberapa kritik dan evaluasi terhadap pilkada langsung yang
menemukan adanya beberapa ekses negatif. Semangat yang berkembang saat itu lebih
banyak pada sisi bahwa pilkada langsung merupakan anugerah demokrasi kepada
rakyat Indonesia yang tidak boleh dirampas dari tangan mereka.
Kedua,
karena lebih dipengaruhi oleh suasana politik yang seperti itu maka model
pilkada serentak sebenarnya tidak lebih dari facelift (perubahan ringan) dari model pilkada langsung yang
diterapkan sebelumnya. Titik utama perubahannya hanya terletak pada waktu
pelaksanaannya yang dilaksanakan secara serentak. Artinya, beberapa ekses
negatif dari pilkada langsung yang telah diselenggarakan selama ini dipastikan
masih akan tetap terjadi dalam model pilkada serentak nantinya.
Ketiga,
beberapa masalah dan peristiwa terakhir seputar agenda pilkada serentak 2015
semakin membuktikan bahwa upaya untuk memperbaiki kualitas demokrasi dalam
hajatan pilkada masih menjadi pekerjaan rumah yang lumayan berat. Klaim bahwa
pilkada serentak akan lebih hemat biaya, misalnya, menjadi tidak valid dengan
membengkaknya anggaran pilkada serentak yang diajukan KPU. Dari perhitungan
awal yang hanya sekitar 4 triliun rupiah, ternyata membengkak hingga 7 triliun
rupiah. Nilai tersebut jauh lebih mahal dari anggaran pilkada tahun sebelumnya
yang hanya berkisar 5 triliun rupiah. Belum lagi ditambah dengan temuan audit
BPK terhadap KPU yang menemukan adanya indikasi kerugian negara sebesar 334
miliar rupiah. Temuan BPK ini sedikit banyak akan mempengaruhi integritas KPU
sebagai penyelenggara pemilu.
Memperhatikan
itu semua bukan berarti kita harus terus memupuk pesimisme terhadap masa depan
demokrasi Indonesia. Justru sebaliknya, sikap yang harus dikembangkan adalah
terus menjaga dan mengawal agar proses demokrasi yang berjalan dapat memenuhi
cita-cita dasar kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tulisan ini pernah dimuat pada Majalah EDUKRASI (majalah terbitan kerjasama IER Universitas Paramadina dengan Konrad Adenauer Stiftung) Edisi 2/2015
Wynn Resorts Ltd | Dr.MD
BalasHapusWynn Resorts, Ltd. is a publicly traded corporation, which 구리 출장마사지 engages in 동두천 출장안마 the management, 충주 출장안마 licensing, 충청남도 출장안마 and operations of land, gambling, and 평택 출장안마 internet