Oleh: Rasyid Widada
Sebagai sebuah wacana yang akhirnya menjadi produk
kebijakan, proses disepakatinya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak cukup
menarik untuk dikaji. Proses pembahasan RUU Pilkada yang terjadi di masa-masa
peralihan periode kepemimpinan nasional turut menjadikannya terbawa dalam dinamika
politik yang berkelok-kelok. Beragam kepentingan beserta perdebatan yang
menyertainya berkembang sedemikian keras hingga sempat menimbulkan kegaduhan
politik yang luar biasa riuh.
Salah satu tujuan dirumuskannya UU Pilkada adalah
keinginan untuk membuat perundangan tersendiri yang secara khusus mengatur
pemilihan kepala daerah, terlepas dari dari UU Pemerintah Daerah. Di sisi lain,
ada banyak kajian ataupun analisis yang mulai dilakukan pada tahun 2007 hingga
2012, guna mengevaluasi penyelenggaraan Pilkada secara langsung yang telah diterapkan
semenjak awal reformasi. Kajian-kaian tersebut diantaranya dilakukan oleh
Kementerian Dalam Negeri, lembaga-lembaga kajian yang perhatian terhadap
otonomi daerah, hingga ormas sosial keagamaan. Hampir semua kajian yang ada memang
mengakui bahwa pilkada langsung lebih menjamin tersalurkannya aspirasi
masyarakat secara langsung dalam menentukan sosok yang akan dijadikan sebagai
pemimpin di daerah mereka. Namun di saat bersamaan, kajian-kajian tersebut juga
menemukan beberapa nilai minus dari penerapan pilkada secara langsung.